Jumat, 29 Mei 2015

WRETIKANDAYUN, SANG PENDIRI KERAJAAN GALUH

Pengantar

Dalam naskah Carita Parahiyangan yang banyak diceritakan selain dari sanjaya dan Resi Demunawan atau Sang Seuweu Karma adalah Wretikandayun. Masyarakat Sunda kebanyakan mungkin tidak mengenal nama Wretikandayun itu. Atau kebanyakan dari mereka juga tidak tahu siapa sih yang mendirikan kerajaan galuh, yang kekuasaanya dari sungai citarum hingga hujung Galuh atau Surabaya sekarang.

Jadi setelah cerita / naskah  Ciung Wanara, Sanjaya sang Pediri kerajaan Medang Bumi mataram, Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit, Surawisesa dan Prabu Linggabuana, Sang Prabu Wangi. Meskipun belum selesai semua, karena dalam proses pencarian data, maka kisah selanjutnya mungkin yang cocok untuk dibahas yang ke-6, adalah pendiri kerajaan Galuh, yaitu Wretikandayun.

Di tengah sumber referensi yang sedikit, memang sangat sulit bisa berbicara atau memberikan data cerita sesuai aslinya. Dalam istilah sunda ada istilah “kokoreh”, seperti ayam ketika mencari makan, harus terus “kokoreh” meskipun makanan kemungkinan tidak di dapat, tetapi ada upaya untuk mencarinya. Meskipun ada sedikit informasi, alangkah baiknya mencoba menulis apa yang di dapat, dari berbagai sumber baik buku maupun internet. Karena dengan menulis akan ada proses menuju kesempurnaan meskipun tidak akan sempurna, karena berbagai keterbatasan. Tetapi proses merupakan sesuatu hal yang harus dilalui dan dijalani.

“Tidak ada istilah bejo atau beruntung” hanya menunggu keberuntungan, yang mungkin hanya akan dirasakan oleh dirinya sendiri. Tetapi proses “kokoreh” yang mulai harus dibangkitkan, atau mungkin istilah yang lainya adalah kita harus tetap berusaha. Karena itu, naskah atau cerita yang akan dibahas sekarang ini adalah pendiri kerajaan galuh, yaitu Wretikandayun. Sebagai usaha kokoreh dalam mempelajari sejarah dari sumber yang sedikit, dan ingin memperkenalkan pada generasi muda Sunda, untuk mencoba mengetahui atau memperkenalkan siapa sih yang mendirikan kerajaan Galuh itu. Ada istilah jika tidak kenal maka tidak akan sayang, maka kami mencoba memperkenalkan kembali naskah Wretikandayun, untuk hanya ingin membuka gerbang, pengkajian sejarah sunda kepada generasi muda sunda, meskipun tidak akan pernah sesuai dengan kisah sebenarnya.

Sejarah kerajaan sunda, di daerah sunda itu sendiri, adalah seperti sejarah anak tiri. Pengalaman saya sendiri, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, atau pesantren, tidak pernah menerima pelajaran tentang sejarah galuh, sejarah sunda, dan lain sebagainya. Jadi kalau tidak mengkaji sendiri maka dijamin tidak akan mengetahui itu siapa Wretikandayun. Jadi tulisan ini mudah mudahan menjadi gerbang bagi generasi muda yang energik untuk mengkaji sejarah ssunda dengan seksama. Masa yang kita ketahui hanya ken arok, ken dedes, hayam wuruk, patih gajahmada, dan lainnya. 




NASKAH

KERAJAAN KENDAN  TAHUN 600-AN MASEHI   

Diceritakan di kerajaan kendan pada tahun 600-an Masehi, suatu kerajaan bawahan Tarumanagara. Yang berkuasa dari kerajaan itu adalah Sang kandiawan. Sang kandiawan naik tahta di kerajaan kendan menngantikan ayahnya, Rajaputra Suraliman pada tahun 597 M. Sang kandiawan adalah seorang yang alim, yang sangat dekat dengan nilai nilai keagamaan.  Sehingga ia mengarah sebagai seorang rajaresi.

Kerajaan Kendan merupakan suatu kerajaan bawahan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan ini didirikan  Sang Resiguru Manikmaya pada tahun 536 M. Resiguru Manimaya berkuasa selama 32 tahun, dari tahun 536-568 M.  
Resiguru Manikmaya diduga berasal dari Calangkayana atau India Selatan.      Manikmaya menikah dengan putri raja Tarumanagara ke7, maharaja Suryawarman (mp. 535-561 M) yang bernama Tirtakancana. Oleh Suryawarman ia dihadiahi daerah Kendan (yaitu suatu wilayah  perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung sekarang). Dan ia kemudian dinobatkan sebagai raja  resi guru di daerah ini, yang dilengkapi dengan mahkota raja dan mahkota prameswari. Semua raja daerah taruumanagara, oleh Suryawarman harus menghormatinya, karena disamping sebagai menantu raja juga karena sebagai seorang brahmana ulung yang dianggap banyak berjasa terhadap agama.
Manikmaya memerintah Kendan selama 32 tahun , dari tahun 536 sampai 568 M. Dari perkawinannya dengan Tirtakusuma ia mempunyai seorang putra dan seorang putri. Yang putra bernama Rajaputra Suraliman, yang kemudian menggantikannya sebagai penguasa Kendan yang ke-2.

Sang Kandiawan merupakan anak dari Rajaputra Suraliman dengan Dewi Mutyasari, putri dari Bakulaputra (dari kerajaan Kutai di Kalimantan keturunan Kudungga). Dari ayah dan ibunya tersebut, ia juga mempunyai adik yang bernama Kandiawati,  yang menikah dengan  saudagar asal Sumatra dan tinggal bersama suaminya.

Rajaputra merupakan gelar untuk Suraliman, putra dari Sang Resi Guru Manimaya. Rajaputra Suraliman terkenal sebagai seorang yang mahir dalam perang.  Ia terkenal sangat tampan disamping kelebihannya dalam ilmu perang dan strategi. Pada usia 20 tahun Suraliman  diangkat menjadi senopati Kendan, dan akhirnya  diangkat menjadi panglima balatentara (baladika) Tarumanagara.
Setelah ayahnya (Manikmaya) meninggal, ia kemudian diangkat menjadi raja kendan yang ke-2.Penobatannya berlangsung  pada tanggal 12 bagian gelap bulan asuji tahun 490 saka (5 Oktober 568 M). Pada masaa pemerintahannya ia selalu unggul dalam peperangan.
Suraliman menikah dengan Dewi Mutyasari, putri dari Bakulaputra (dari kerajaan Kutai di Kalimantan keturunan Kudungga). Dari pernikahannya dengan Dewi Mutyasari tersebut, ia mempunyai seorang putra yang bernama Kandiawan, dan seorang putri yang bernama Kandiawati. Kandiawan yang kemudian bergelar Rahiyangta ri Medang Jati kemudian menggantikannya, sedang adiknya, Kandiawati, menikah dengan  saudagar asal Sumatra dan tinggal bersama suaminya.
Suraliman menjadi Raja Kendan selama 29 tahun (568-597 M), yang kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Sang Kandiawan.

Sebelum menjadi Raja, ia pada awalnya menjadi rajamuda di Medang Jati. Karena itu setelah ia  dinobatkan menjadi raja Kendan. Sang Kandiawan tidak berkedudukan di  Kendan, tetapi ia memindahkannya ke  Medang Jati. Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan  merupakan  pemeluk agama Hindu Wisnu, sedang  daerah kendan waktu itu menjadi  pemeluk Hindu Siwa.

Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun (597-612 M). Sang kandiawan meneyebut dirinya dengan gelar Rahiyangta Dewaraja, dan ketika menjalankan hidup sebagai rajaresi ia bergelar    Rahiyangta di Medang jati  atau terkenal juga dengan nama  Sang Layu Watang. Dialah yang membuat sanghiyang Watang Ageung.
Sang Kandiawan menggantikan tahta ayahnya, Suraliman, menjadi raja Kendan yang ke-3. Sebelum menjadi raja Kendan,  ia telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu Sang Kandiawan  diberi gelar Rahiyangta Ri Medang Jati.
Setelah ia  dinobatkan menjadi raja, ia tidak berkedudukan di  Kendan, tetapi di Medang Jati. Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan  pemeluk agama Hindu Wisnu, sedang  daerah kendan  pemeluk Hindu Siwa. Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun (597-612 M). 

Sang Kandiawan  mempunyai 5 orang putra, yaitu: Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah, Sandang Greba dan Wretikandayun.  Kelima anak sang Kandiawan  dalam naskah Carita Parahiyangan dianggap sebagai “titisan” Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala,

Sayembara / Taruhan Antar Anak Anak Sang Kandiawan.

Setelah menginjak dewasa, pangeran pangeran putra Sang kandiawan tersebut sangat menyenangi acara berburu. Pada suatu acara, mereka berlima: Mangukuhan, Karungkalah, Katung Maralah, Sandang Greba dan Wretikandayun  mereka merencanakan untuk berburu di suatu bukit dekat pertapaan Bagawat Resi Makandria.

Rencana berburu itu dipimpin oleh kakak tertuanya, yaitu Mangukuhan. Sang Mangukuhan berkata: “Mari adik-adik kita berburu ke bukit (tegalan).” Dan ketika akan berburu, diadakan dulu rapat antar para Pangeran tersebut, dan disepakati bahwa yang pertama kali memenangkan buruannya akan dijadikan raja nantinya.

Maka berangkatlah kelima pangeran tersebut ke suatu bukit / tegalan. Mereka dengan semangat berlomba-lomba untuk mendapatkan yang pertama mendapat hasil  buruannya, karena mereka telah disepakati bersama bahwa yang pertama kali mendapatkan hasil buruan akan dijadikan raja, pengganti ayahnya.

Sang Resi Bagawat Resi Makandria
Jauh sebelum rencana para pangeran sedang berkompetisi di tegalan / bukit buruan para pangeran tersebut. Terdapatlah seorang Resi yang bernama Bagawat Resi Makandria yang sedang bertapa dengan hidmatnya. Ia nantinya menjadi mertua dari Wretikandayun.
Resi Makandria terkenal sebagai resi yang sangat alim, ia sejak muda menjalani hidup sebagai resi dengan banyak bertapa. Karena tingkat keilmuannya yang sangat tinggi, dalam naskah ini diceritakan bahwa ia mengerti perbincangan sepasang burung yang higgap di atas pertapaannya.

Dari pembicaraan burung si Uwur Uwur atau Si Naragati yang sedang berdebat dengan betinanya. Sang burung  mengkritik habis Resi Makandria yang katanya, alangkah hinanyya jika tidak mempunyai anak. Menuerutnyasang resi melakukan pertapaan tersebut karena sengsara karena tidak punya  anak. Dan dari perbincangan juga diungkapkan bahwa jangankan dia punya akan punya anak, sedang kawin saja tidak. Karena alangkah akan sengasaranya jika tidak punya anak.

 Pada bab kedua dari Carita Parahiyangan menceritakan kisah seorang resi, yang bernama Bagawat Resi Makandria, yang kelak akan menjadi mertua dari Wretikandayun, sang pendiri kerajaan Galuh.
Pada suatu hari ada sepasang burung jantan dan betina yang bersarang di atas pertapaannya. Burung tersebut dinamakan “Si Uwur Uwur” atau “Si Naragati”. Si burung betina tersebut mempunyai anak, tetapi kemudian dimakan oleh jantannya. Maka sag betina itu marah kepada burung jantannya: “Alangkah hinannya jika kita tidak mempunyai anak itu. Lihatlah Bagawat Resi Makndria, bertapa itu karena sengsara sebab tidak mempunyai anak”. Mendengar percakapan burung si uwur uwur tersebut, maka berkatalah Bagawat Resi Makandria:” Bagaimana akan punya anak, kawin juga tidak.”
Dalam Carita Parahiyangan disebutkan sebagai berikut:
Aya manuk ngaranna si Uwur-uwur, oge katelah Si Naragati, nyayang di pangjarahan Bagawat Resi Makandria. Anakna dihakan ku jaluna. Dicarekan ku bikangna.
Carek bikangna: “Kacida hinana, lamun urang teu boga anak teh. Bireungeuh tuh
Bagawat Resi Makandria!Tatapa soteh bane bae sangsara da henteu boga anak.”
Carek Bagawat Resi Makandria: “Kumaha rek boga anak. Da kawin oge henteu.”
Ti dinya, carek Bagawat Resi Makandria: “Aing dek indit ka Sang Resi Guru, ka
Kendan.”
Manehna datang ka Kendan.
Carek Sang resi Guru: “Na nahaon bejana, hidep Bagawat Resi Makandria, nu matak datang ka dieu?” “Pangampura bae; saleresna aya piwartoseun. Dek nyuhunkeun pirabieun. Lantaran kawartosan ku manuk si Uwur-uwur, nu nelah oge si Nagaragati.
Sanggemna kacida hinana, lamun urang teu gaduh anak.”
Carek Sang resi Guru: “Jig hidep ti heula ka patapan deui. Anaking Pwah Rababu
geuwat susul Bagawat Resi Makndria. Lantaran nya manehna pijodoeun hidep teh,
anaking.”

Mendengar dari percakapan tersebut, maka Bagawat Resi Makandria kemudian menghentikan pertapaannya, dan bertekad menemui Sang Resi Guru manikmaya di Kendan untuk meminta jodoh. Setelah menghadap Sang resi Guru, ia kemudian menceritakan tentang perbincangan burung yang bernama Si Uwur Uwur, bahwa alangkah hinanya jika tidak mempunyai anak. Maka Resi Makandria menceritakan tentang maksud kedatangannya untuk minta jodoh ke Sang Resi Guru.

Sang Resi Guru kemudian menjodohkan Bagawat Resi Makandria dengan anaknya, Pwah Rababu. Da menyuruh Bagawat Resi Makandrai untuk kembali ke pertapaannya, dan calon istrinya, Pwah Rababu akan menyusu kemudian. Singkat cerita, Resi Makandria ini mempunyai anak perempuan yang bernama Pwah Bungatak Mangalengale.  

Dari kisah ini kemungkinan penulisnya ingin menekankan tentang pentingnya regenerasi atau keturunan sebagai suatu upaya untuk kesinambungan peradaban suatu bangsa.  Dan hal ini seolah menjadi dokrin sunda, bahwa kita jangan diam dalam arti bertapa saja tanpa usaha apa apa.

Kemenangan Pangeran Wretikandayun

Sebelum berburu dimulai kelima saudara itu bersepakat bahwa siapa yang pertama kali menumbak hewan buruannnya maka berhak menjadi raja. Di Tegal  (bukit) ada sepasang kerbau yang jantan bernama Kebowulan sedang yang betina bernama Pwah Manjangandara, yang merupakan jelmaan dari Resi Makandria dan istrinya, Pwah Rababu. Sepasang kerbau itu dikejar oleh kelima orang tersebut, dan kebowulan tertembak oleh Wretikandayun, kemudian dikejar hingga tempat pertapaan. Disana ditemukan Pwah Bungatak mangalengale sedang sedang menyusu kepada Pwah Manjangandara.

Pwah Bungatak Mangalengale kemudian dibawa Wretikandayun ke Galuh kepada ayahnya Sang Kandiawan atau Rahiyangta Medang Jati. Setelah dewasa Pwah Bungatak Mangale-ngale ini kemudian dijadikan istri oleh Wretikandayun.

Setelah itu keempat saudaranya menyepakati bahwa yang berhak menjadi putra mahkota adalah putra bungsu sang raja, yaitu Wretikandayun. Dan ia diangkat menjadi rajamuda di Menir.

BAB II RAJA WRETIKANDAYUN

Setelah berkuasa selam 15 tahun, Sang kandiawan kemudian mengundurkan diri menjadi raja, untuk lebih berkonsentrasi dalam bidang keagamaan sebagai raja resi. Karena kesepakan antar anak anaknya, maka yang naik tahta menjadi raja adalah Wretikandayun, putra bungsunya.

Sang Kandiawan menjadi raja Kendan hanya 15 tahun (597-612 M). Sang kandiawan meneyebut dirinya dengan gelar Rahiyangta Dewaraja, dan ketika menjalankan hidup sebagai rajaresi ia bergelar    Rahiyangta di Medang jati  atau terkenal juga dengan nama  Sang Layu Watang. Dialah yang membuat sanghiyang Watang Ageung.

Wretikandayun dinobatkan menjadi raja Kendan menggantikan ayahnya pada 23 Maret 612 M, pada usia 21 tahun. Dan setelah menjadi raja  Wretikandayun tidak berkedudukan di  di Kendan atau di Medang Jati, tidak juga di Menir. Tetapi ia mendirikan pusat pemerintahan (ibukota) baru, yang kemudian diberi nama Galuh (permata).

Kendan pada masa Wretikandayun lebih dikenal dengan nama kerajaaan Galuh, dan kerajaan ini  kemudian memegang peranan penting dan merdeka ketika Tarumanagara berubah menjadi bawahan Sundasambawa. Dengan demikian Kendan di era Wretikandayun lebih di kenal dengan nama kerajaan Galuh, yang mandiri.

Menjadi Kerajaan Galuh Yang Merdeka

Ketika Wretikandayun dinobatkan sebagai raja Kendan,  penguasa Tarumanagara saat itu adalah Srimaharaja Kertawarman (mp. 561-628 M). Ia berturut-turut menjadi raja daerah (bawahan Tarumanagara) pada masa udawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (mp. 666-669 M). 

Dan ketika tahta tarumanagara jatuh kepada Tarusbawa pada tahun 669 M, menantu Linggawarman dari Sundasambawa, yang kemudian mendirikan kerajaan Sunda, Wretikandayun yang waktu itu berumur 78 tahun kemudian memerdekakan diri (merdeka), dan wilayah Tarumanagara di bagi 2, dengan perbatasan Sungai Citarum. Tarusbawa berkuasa di barat Sungai Citarum, sedang Wretikandayun sebelah timurnya.   

Dengan demikian tahun 669 M, dianggap sebagai awal dari kerajaan Galuh yang mandiri.

Mengangkat Saudara saudaranya Menjadi Pejabat Negara

Nasib keempat saudara Wretikandayun pada awalnya memilih jalan kehidupan yang berlainan. Kakak tertuanya, Sang Mangukuhan memilih jadi petani (tukang ngahuma). Kakak keduanya, Sang Karungkalah memilih menjadi  tukang moro (Tukang berburu), Kakak ketiganya, Sang Katungmaralah memilih menjadi  tukang nyadap (pengambil air nira untuk membuat gula), dan kakak ke-empatnya memilih menjadi pedagang (saudagar).

Dan ketika Wretikandayun menjadi Raja Galuh, keempat saudaranya tersebut diangkat derajatnya (dijunjung) menjadi penguasa didaerah kekuasaannya:  Sang Mangukuhan diangkat menjadi penguasa di Kuli Kuli (Rahiyangtang Kuli-Kuli), dan  berkuasa selama 80 tahun. Sang Karungkalah diangkat menjadi penguasa di  Sarawulan (Rahiyangtang Sarawulan), dan berkuasa hanya 6 tahun, karena kelakuannya yang kurang bagus. Sang Katung Maralah diangkat menjadi penguasa di Pelesawi (rahiyangtang Pelesawi), dan berkuasa selama 122 tahun karena kelakuannya yang terpuji / baik.
Sang Sandanggreba diangkat menjadi penguasa di Rawunglangit (Rahiangtang Rawunglangit), dan berkuasa selama 60 tahun
    

BAB III PUTRA PUTRA SANG RAJA

Wretikandayun beristrikan Pwah Bungatak Mangalengale atau Manawati, dan setelah menjadi prameswari terkenal dengan nama Candraresmi. Dari perkawinannya ia kemudian mempunyai 3 putra, yang bernama: Semplak Waja (l. 620 M), Jantaka (l. 622 M) dan Amara (mandiminyak) (l. 624 M).

Rahiyang Sempak Waja
Rahiyang Semplak Waja, merupakan anak tertua Wretikandayun yang lahir tahun 620 M. Ia memilih menjadi resiguru (batara dangiang guru)  di Galunggung.

Kisah   Rahiyang Sempak Waja dimasa muda diceritakan agak romantis. Berawal dari rasa iba (kasihan)  Sang Resiguru dari Kendan terhadap Sempak Waja yang tidak punya istri. Sang Resi guru memerintahkan anaknya, Pwah Rababu yang terkenal sangat cantik, untuk menemui Sempak waja, karena dianggap sangat cocok untuk menjadi suaminya.

Konon karena kesaktiannya, Sang Resiguru ini mengubah ikat kepalanya (totopong) menjadi Jaralang Bodas. Dan jaralang Bodas itu mendekati Sempakwaja. Dalam hatinya Sempak Waja bertanya: “ Mengapa ada Jaralang Bodas?” Karena itu Sempak Waja kemudian mengambil penyumpit, terus mengejarnya untuk disumpit. Tetapi ketika ia terus mengejarnya malah menemukan wanita cantik yang bernama Pwah Rababu, yang sedang mandi di telaga Cendana. Kata Sempak Waja siapa yang sedang mandi itu. Ia kemudian samping (jarit) nya dileled ku sumpit dan kena. Ada teman Pwah rababu, yang bernama Pwah Aksari ketika melihat Sempak Waja kemudian melarikan diri ke hutan sekitarnya (tegalan). Dan Pwah Rababu oleh Sempak Waja kemudian dibawa ke Galunggung dan kemudian dijadikan istrinya.
Diceritakan bahwa Sempak Waja sangat mencintai istrinya (dipikasih), dan dari istrinya tersebut mempunyai 2 putra, yaitu Rahiyang Purbasora dan Rahiyang Demunawan.

Rahiyang Kidul
 Jantaka atau Rahiyang Kidul yag lahir tahun 622 M, memilih menjadi rrajaresi (batara hiyang buyut) di Denuk (sekarangg sekitar daerah Garut Selatan).

Rahiyang Mandiminyak
    Amara atau Rahiyang Mandiminyak merupakan anak bungsu Wretikandayun yang lahir tahun 624 M,  Ia diangkat menjadi putra mahkota, dan kemudian menjadi raja di Galuh menggantikan Wretikandayun setelah wafat.

BAB IV. SKANDAL YANG MENGGEMPARKAN ISTANA GALUH

Suatu waktu Rahiyang Mandiminyak yang merupakan putra mahkota Galuh, mengadakan pesta perjamuan (utsawakarma) di istana. Ia juga mengundang saudara-sudaranya, termasuk Semplak waja dan Jantaka. Yang mengundang adalah ayahnya (Wretikandayun), yang merupakan raja Galuh waktu itu. Sempakwaja tidak hadir karena sakit namun karena menganggap undangan ayahnya tersebut penting, maka ia diwakili oleh isterinya Pwah Rababu. Sementara Pwah Rababu pergi ke Galuh, keduan anaknyatinggal di Galunggung merawat ayahnya (sempak Waja).

Kehadiran Pwah Rababu yang cantik di Istana Galuh ternyata menerbitkan masalah. Pwah Rababu disamping parasnya yang sangat cantik juga ia terkenal sangat pandai menari. Dan ketika ia ikut menari di halaman istana (buruan ageung) sangat menggemparkan masyarakat, berduyun-duyunlah orang ntuk melihatnya, sehingga buruan ageung (halaman istana) sangat ramai. Hal ini membuat penasaran Sang Putra Mahkota. Dan ketika ia melihat wanita yang sangat cantik sekali maka tertarik, padahal mengetahui bahwa ia merupakan kakak iparnya.

Rahiyang Mandiminyak kemudian menyuruh patihnya untuk memaksa Pwah rababu untuk dibawa ke istanannya. Rahiyang Mandiminyak sangat mencintainya, hal ini mungkin juga sudah dipendam sejak dulu ketika kakaknya mendapatkan Pwah rababu yang terkenal sangat cantik. Rahiyang mandiminyak terkenal sebagai orang yang pandai merayu, Dan dengan paksaan maka dikhabarkan selama 4 hari terjadilah smarakarya (skandal asmara) antara Pwah Rababu, yang cantik itu, dengan adik iparnya, Rahiyang Mandiminyak.

Hasil skandal kedua manusia berlainan jenis itu adalah seorang anak laki-laki yang kemudian dinamakan Sena yang lahir pada tahun 661 M. Sena artinya sang salah, karena ia dilahirkan dari hubungan yang salah.

Istana Gempar
Skandal percintaan antara rahiyang mandiminyak dan Pwah rababu sangat menggemparkan istana galuH dan juga kerajaaN. Kerajaan menjadi kisruh karena peristiwa tersebut, tetap akhirnya dapat diredam karena Sempakwaja turun tangan. Pwah Rababu dimaafkan dan boleh kembali ke Galunggung, dan  setelah lahir Sena harus dirawat oleh Mandiminyak sebagai pertanggungjawabannya.

Menyingkirkan Putra Mahkota
Untuk meredam gejolak, dan juga reputasi istana yang terkenal sebagai pusat keagamaan.  Mandiminyak selanjutnya disingkirkan secara halus dari keraton oleh ayahnya, Wretikandayun. Ia dikawinkan dengan Parwati anak Ratu Sima dengan Kartikeyasinga, raja Kalingga yang berkedudukan di Jawa Tengah. Karena itulah Mandiminyak tinggal di Kalingga.

Dari perkawinan Mandiminyak dengan Parwati ini kelak lahirlah Sanaha. Kelak setelah Sanaha (anak Mandiminyak dengan Parwati) cukup dewasa, Ratu Sima menjodohkannya dengan Sena (anak Mandiminyak dengan Pwah Rababu). Perkawinan sedarah ini kelak pada tahun 683 melahirkan anak yang bernama Sanjaya (683 M-754 M).

Pada tahun 695 M, Mandiminyak bersama isterinya, Parwati, menjadi penguasa Kalingga Utara. Hal ini terjadi karena setelah Ratu Sima wafat, kerajaan dibagi dua. Sebelah utara (yang disebut Bumi Mataram) diperintah oleh Parwati dan Mandiminyak, yang memerintah sampai tahun 716 M. Sedangkan sebelah selatan dan timur (yang disebut Bumi Sambhara) diperintah oleh Narayana (adik Parwati) yang memerintah sampai tahun 742 M.

BAB VI SUKSESI GALUH

Rahiyang Mandiminyak menjadi raja kedua kerajaan Galuh, menggantikan ayahnya yang berkuasa selama 90 tahun. Rahiyang mandiminyak menjadi raja galuh pada tahun 702 M. Karena itu Rahiyang Mandiminyak  berkuasa di atas 2 negara, yaitu Kalingga (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Galuh (di tataran Sunda). Sehingga  posisi Rahiyang Mandiminyak sangat kuat sekali, dan pada tahun  703/704 M, Mandiminyak menjodohkan cucunya, Sanjaya, dengan Sekar Kancana (Teja Kancana Ayupurnawangi), cucu Raja Sunda Tarusbawa yang berkedudukan di Pakuan. Karena itu kekuasaan Galuh sangatlah luas, yaitu dari timur sungai Citarum hingga ujung Galuh (Surabaya sekarang)


Mandiminyak berkuasa di tanah Galuh hanya 7 tahun, dari tahun 702 sampai 709 M. Pada tahun 709 M, Mandiminyak meninggal. Ia digantikan oleh Sena, anaknya dari Pwah Rababu. Tetapi pengangkatan Sena sebagai raja Galuh tersebut tidak diterima oleh Purbasora, anak Sempakwaja dengan Pwah Rababu, dan akhirnya Prabu Sena dikudeta oleh Prabu Purbasora.

(lanjut)

By Adeng Lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda & Islam
Asal  Hariang - Sumedang

Dari Berbagai Sumber di Internet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar